Menyibak Misteri Alas Purwo

Author
Published Juli 13, 2022
Menyibak Misteri Alas Purwo

Setelah berpuluh-puluh kilometer  menyusur Alas Purwo akhirnya sampai juga pada destinasi wisata pertama, yakni pantai Trianggulasi. Nama ini mengingatkan saya pada salah satu metode penelitian kualitatif, he he "triangulasi". Saya sendiri tidak paham apakah penamaan itu masih ada kaitan dengan metode pengukuran dengan menggunakan sifat-sifat segitiga  trigonometri. Ah entahlah. 

Penasaran dengan nama pantai itu saya mencoba melacak di Google, namun sayang saat memasuki Alas Purwo hingga masuk pantai itu, segala jenis signal tidak ada. Signal baru ada saat kami keluar dari Alas Purwo.

Nama Trianggulasi setelah saya lacak ternyata diambil dari monumen Trianggulasi, yang merupakan tugu penunjuk titik pengikat di area pengukuran dan pemetaan, yang terletak sekitar 500 m dari pantai utara. Konon masyarakat setempat sering menamai Tanggul Asri, karena sulit untuk menyebut Trianggulasi.

Memasuki Pantai triangulasi kami disambut gerimis. Awalnya kami abaikan rerintik kecil itu. Kaki ini terus melangkah menuju garis pantai. Pada area pintu masuk area pantai, terpasang papan peringatan keras, yang intinya pengunjung dilarang berenang." Nekat berenang siap mati" waw bikin bulu kuduk bergidik. Sebegitu angkernya kah? Kutelisik kalimat panjang di papan. Infomasi yang didapatkan sering terjadi korban tenggelam akibat terseret arus pecah di palungan.

Sejauh mata memandangi air laut, hati berdecak kagum. Biru, jenih dan air bersih! Kesan pertama menatap laut lepas itu. Mentari mencoba menembus awan tebal yang menutup penuh pemandangan langit, sungguh ciptakan suatu panorama alam yang sangat eksotik. Sebagaimana kelaziman pantai, hutan mangrove juga mengitari garis pantai. 
Sayang pasir pantainya yang berwarna krem keputihan dipenuhi puing-puing atau lebih tepatnya belulang pohon yang melapuk yang ditinggalkan hempasan ombak. Entah karena dampak covid , seakan area pantai kurang terawat. 

Belum puas diri menikmatinya, rerintik hujan membesar. Kami berlarian menuju bus. Tak sampai 15 menit memang kaki memijak sekitaran pantai yang merupakan ujung pulau Jawa ini.  Dari dalam bus kami melihat jika di dekat bus parker ada 3 gazebo besar untuk berteduh. Tapi apa boleh buat, kami harus melanjutkan perjalanan.

Savana Sadengan, destinasi kedua
yang kami datangi. Jarak dari Trianggulasi cukup dekat, namun saat memasuki jalan masuk Savana Sadengan kendaran tidak bisa melaju dengan cepat. Selain jalannya yang tidak diaspal atau makadam dan sempit, kendaraan tidak bisa berpapasan. Menurut info yang didapatkan jalan menuju savana memang sengaja tidak diaspal, mengingat sebagai bagian dari hutan konservasi yang dilindungi  BKSA (Balai konservasi Pelestarian Alam). Jangan heran pula jika disepanjang jalan menemukan pohon besar sampai melapuk dan dibiarkan begitu saja. 

Salah satu keberuntungan kami saat menuju Savana kami bisa melihat burung merak yang sedang melintas. Sayang tidak sempat mendokumetasikan si merak cepat -cepat menyelinap di semak belukar.
Savana Sadengan merupakan savana buatan dengan luas +-84 ha yang berada di ujung timur pulau Jawa. Bertujuan untuk monitoring dan konservasi sekaligus feeding ground bagi satwa perioritas yang hidup di padang rumput seperti banteng ( Bos Javanicus), kijang (Montiacus Muntjak) Rusa ( Cervus Monterensis) babi kutil ( Sus Verricusus) dan pelestarian berbagai burung seperti jalak putih (Sturnus melanopterus ) dan merak hijau (Pavo Muticus)

Di Savana Sadengan kami juga disuguhi pemandangan banteng yang sedang merumput dalam jarak yang cukup dekat. Pengunjung juga bisa menikmati pemandangan alam sekitar melalui panggung berlangai 2. Di lantai  pengunjung bisa berswafoto, secara bergantian. Maksimal di lantai 2 hanya 15 orang.

Selain di panggung pengunjung bisa melakukan swafoto pada tempat yang tersedia. Tentu saja pengambilan spot foto harus tepat agar menghasilkan penampakan alam yang benar-benar memukau. Sebagai destinasi wisata sadenagan juga memiliki fasilitas yang cukup nyaman seperti sarana toilet yang bersih dan modern, musholla yang bersih, kantor juga kantin dan area parkir yang memadai. Puas menikmati keasrian dan pemandangan di Savana Sadengan bus membawa rombongan menuju Pantai Pancur.

Perjalanan menuju Pantai Pancur kurang lebih 3,5 KM. Jalanan menuju Pantai Pancur sudah hotmik. Namun kanan kirinya tetaplah merupakan hutan. Kadang di dominasi rumpun bambu kadang pepohonan lainnya. Sepanjang jalan kami di melihat kera berkeliaran di jalan, bergelantungan, melompat dari ranting ke ranting dari pohon ke pohon. 
Asyiknya menikmati perjalanan menyusuri hutan, rasanya begitu cepat sampai di area Parkir wisata Pancur. Dari tempat parkir menuju pantai harus berjalan kaki menuju Pos Pancur yang jaraknya sekitar 100m. Dari sini pengunjung bisa langsung ke pantai pancur atau lanjut ke Pantai Plengkung.
Kami dan beberapa kawan lebih memilih lanjut ke Pantai Plengkung. Menuju Plengkung harus menggunakan kendaran khusus/ armada wisata TN Alas Purwo jenis Trooper. Jasa antar jemput 1 mobil isi 7 orang biayanya Rp 250. 

Dari sopir armada kami diberitahu jika objek wisata belum sepekan dibuka setelah masa pandemi. Selama pandemi segala tempat wisata ditutup. Bahkan orang-orang yang ada di gua -gua/ pertapa di pulangkan. Di Alas Purwo ada ratusan gua, orang -orang yang berkunjung ke gua juga bermacam macam, tergantung niatnya, ada yang cari pesugihan, kedudukan, dan jabatan. Begitu cerita ngalor ngidul si sopir. Dia sebagai pendatang  baru, ikut istri menetap di wilayah Tegaldlimo katanya juga sedang cari "pesugihan" bertapa jadi sopir wisata TN Alas Purwo, kelakarnya. Lalu menurunkan kami di kawasan pantai Plengkung dan menunjukan arah menuju pantai paling ujung timur pulau jawa, yang jaraknya sekitar 600m dari kami berdiri.
Decak kagumku bertambah tambah melihat kemolekan Pantai Plengkung ( G_land). Seperti namanya Plengkung. Posisi garis pantainya melengkung. Pantai yang terkenal di manca negara sebagai tempat surfing karena ketingian gelombang ombaknya konon no.2 di dunia. Ombak di pantai Plengkung panjangnya bisa sejauh 2 km dengan ketinggian 6-9m. Plengkung (G-Land) merupakan surga bagi peselancar dunia.

Selain ombak dan kemolekan pantainya, ada yang unik dari pasir di pantai ini. Kawan saya yang jeli menemukan area pasir yang tidak terlalu luas mungkin hanya sekitar 1 atau 2 m,  bentuk pasir yang  ditemukan berbeda dengan pasir pantai umumnya. Pasir halus berbetuk bulat halus tapi padat mirip telur ulat pakan burung. Sebotol kecil tempat air minum jadi bukti uniknya pasir G-Land ikut dalam perjalanan pulang.
Usai dari G land, kami kembali ke Pos Pancur. Di sini kami langsung menuju toilet sekaligus melaksanakan Salat Duhur dan Asar jamak takdim di mushalla lantai 2. Waktu sudah mendekati pukul 14. Wajar saja signal lapar menyala. Kantin  yang hanya beberapa meter dari depan musalla jadi tujuan kami berlima berikutnya. Beda kepala beda selera. Ada bermacam menu makanan dari soto, mie, bakso, nasi tempong, rawon , pecel, ikan bakar dll. Siang itu pilihan saya jatuh pada soto ayam. Hem lapar sebabkan semangkok soto ludes tak tersisa. Alhamdulillah nikmatnya terasa.

Usai makan saya tak sanggup lagi menuruni tangga untuk menikmati pantai pancur. Saya lebih memilih hanya diam di atas mengitip pemandangan laut, yang terasa mulai menyengat. Keunikan dari pantai Pancur adalah adanya air tawar yang mengalir dari pancuran seperti air terjun mini mengalir ke laut. Inilah mengapa pantainya di sebut pantai Pancur.
Pengalaman seharian menyusuri Alas Purwo, menghapus image angker dan mistik alas purwo. Alas Purwo itu merupakan kekayaan alam Indonesia yang penuh pesona. Di dalamnya banyak sekali destinasi wisata yang patut dieskplor namun patut dijaga kelestariannya. Tips mengunjungi Alas Purwo itu sesuai niatnya, jika niat baik maka pulang dalam keadaan baik. Ibaratkan bertamu maka kita harus jaga sopan santun. Jangan melanggar larangan yang ada. Seperti pepatah di mana kaki berpijak maka di situ langit dijunjung. 

Bondowoso, 13.07.2022






 

 

1 komentar

Posting Komentar

[ADS] Bottom Ads

Halaman

Copyright © 2021