Menyibak Misteri TN Alas Purwo

Author
Published Juli 06, 2022
Menyibak Misteri TN Alas Purwo

Dok.Pribadi 

Waktu kian mendekat, sesuai kesepakatan yang ditetapkan satu persatu peserta tur berdatangan. MAN Bondowoso dipilih sebagai titik kumpul pemberangkatan. Sederhana pertimbangannya, halaman nan luas dan aman, bisa dimanfaatkan sebagai penitipan kendaraan, begitu pendapat mayoritas rekan.

Pukul 03.00 tepat Jetz bus mini warna kuning yang akan membawa kami menuju wisata datang. Tanpa aba-aba  kami langsung naik menuju kursi sesuai denah tempat duduk. Tak perlu menungu lama 29 person terdiri 21 wasmad dan 8 anggota keluarga, dengan iringan doa yang dipimpin ketua pokja_bus mini pun bergerak melesat menembus dingin dan gelap sisa  penghujung malam.
 
Alas Purwo menjadi tujuan wisata kami. Wisata yang sudah direncanakan 2 tahun silam itu, baru kesampaian. Penundaan tersebab Covid-19 yang tak kunjung mereda. Alhamdulillah akhirnya giat ini bisa terlaksana. Tak mudah memang untuk mengakomodir berbagai keinginan dari banyak kepala. Pro kontara tentang destinasi wisata pastilah ada.

"Alas purwo? Ngapain di sana? Bukankah lokasi itu angker?" Begitu rata-rata pertanyaan yang mengemuka. Di image saya pribadi juga tentang Alas Purwo  tak jauh beda dengan rekan lainnya. Maklum saja dari kecil informasi itu yang terlanjur menancap. Gegara doyan sandiwara radio yang kala itu merupakan satu-satunya hiburan jadul seperti Saur Sepuh, Brama Kumbara, Mak lampir dll. Alas Purwo tersetting sebagai sebagai tempat berkumpulnya makhluk astral, seperti genduwo, demit, jin, tuyul kutilanak dll. Di samping itu konon  juga sebagai tempat mencari pesugihan, tempat pertapaan untuk mendapatkan kedikjayaan, serta klenik lain yang penuh misteri.

Kelihaian seorang teman yang kebetulan putra daerah Banyuwangi dalam mempromosikan destinasi wisata yang ada, akhirnya pilihan jatuh pada Alas Purwo dan sekitar. Bismillah niat ingsunnya  tadabbur alam dan refreshing. Rute perjalanan melalui alur selatan. Dari arah Bondowoso menuju Arjasa masuk jalan Banyuwangi.

Saya yang memiliki kebiasaan jika perjalanan jauh langsung merem, kali ini harus membetahkan diri untuk tak segera tidur, menunggu salat subuh yang dijadwal sekitar 1,5 jam lagi di Sempolan. Masuk daerah Garahan kami disambut kabut serta rerintik hujan di sepanjang jalan sepertinya hujan dari semalam. 

Pemandangan pasar yang kami lewati menjadikan mata ini hijau, sehijau warna sayuran seperti terong, labu siam, kacang panjang, selada air, sawi, kangkung yang terlihat begitu segar dan ranum. Geliat pasar di pagi buta itu mengundang lapar mata para emak yang ada di bus. Andai yang di lihat itu sudah endingnya perjalanan bisa dipastikan kami meminta pak sopir berhenti. Sayang ini masih awal perjalanan.

Semayup azan subuh sampai juga ke telinga kami. Pak Sopir segera mencari masjid terdekat. Masih di Sempolan saat bus berhenti tepat di halaman masjid. Belum sempat membaca nama masjidnya, iqomah berkumandang, kami bergegas menuju kamar mandi. Antrean kamar mandi tak dapat dihindari, kami para emak memburunya terlebih dahulu, baru kemudian berwudu. Sebagian kami jadi makmum masbub. Usai salat kami sudah ditunggu rekan lain untuk melanjutkan perjalanan, hingga lupa tak mencari tahu nama masjid yang kami singgahi untuk salat subuh itu.

Sejuk dan segarnya air wudu masih berasa, mata masih siaga mengamati nuasa pagi perjalanan. Mentari masih belum menampakkan diri, saat bus memasuki kawasan Gumitir. Halimun menuruni pepohonan di kanan kiri jalan. Jalanan yang berkelok kelok  seperti liukan ular memacu adrenalin kami. Ada rasa ngeri -ngeri sedap menikmati jalanan menanjak dan menikung di pagi buta ini. Lantunan dedoa keselamatan tak henti hentinya dilangitkan.

Untung saja jalanan masih lumayan sepi, di depan  bus hanya ada 2 atau 3 kendaraan besar beriringan. Sopir yang membawa kami rupanya penyabar, dan tak ada gelagat ugal-ugalan. Dia membawa kami dengan ekstra hati hati. Entah di tanjakan dan kelokan ke berapa dari bawah kulihat bahu kanan menuju BWI, longsor, dan belum ada  pengamanan kecuali police line yang terlihat samar. Mujur persis di posisi itu tidak ada mobil dari lawanan arah. 

Rongga dada terasa lapang saat bus sudah keluar dari jalur Gumitir. Pemandangan jalan yang semula dipenuhi pepohonan rindang kini beralih pada rumah rumah penduduk dan pertokoan. Saya tidak paham jalur atau nama jalan menuju BWI, yang saya ingat betul hanya lampu merah persimpangan menuju Jajag mengarah kanan jalan. Bus terus melaju dan kami patuh saja. Tetiba tour leader  memberi aba-aba untuk berhenti persis di halaman mini market. 

Di sebarang jalan tampak tulisan  "Warung Nostalgia". Rupanya inilah warung yang direkomendasikan untuk sarapan pagi. Waktu masih menujuk 06.20. Kami mengantre untuk mengambil sarapan. Di warung Nostalgia ini menu makan dipilih sendiri oleh pembeli.  Menu yang disediakan diantaranya ayam kampung lalapan, ayam pedas, pecel, rawon, soto, dan masih banyak lagi deretan daftar menunya. Sementara untuk minum ada teh hangat manis, tawar , jeruk panas , kopi hitam air mineral. Di warung ini juga memberikan layanan makan sepuasnya, citra rasa masakan juga tidak mengecewakan.

Kurang lebih 40 menit, acara sarapan pun usai. Kami pun melanjutkan tujuan. Entah karena sudah kenyang, kebiasaan saat naik kendaraan kambuh. Serangan ngantuk tak bisa dilawan. Segala kisah perjalanan tiba-tiba lenyap dari pandangan. Tau-  tau terdengar perintah ayo tour leardernya pindah ke depan.  Begitu kubuka mata di depan kulihat kanan kiri jalan sudah berdiri kokoh pepohonan tinggi dan besar.

 Bus membawa kami menyusuri hutan. Kuamati pepohonan yang ada kuhubungkan dengan memori, siapa tahu bisa banyak mengenali jenisnya.  Sepanjang jalan entah berapa kilo panjangnya kami disuguhi pemandangan alam berupa hutan yang didominasi kayu jati dan mohoni yang  besar mungkin sudah ratusan tahun usianya. Disela selanya rapat tumbuhan kecil atau perdu yang tak kutahu apa namanya.
Dok.Pribadi salah satu jenis pohon 

Sunyi dan sepi, kesan pertama saat masuk Alas Purwo. Tepatnya Taman Nasional (TN Alas Purwo) tak ada lalu lalang orang di jalan. Jalan menuju  alas yang tak seberapa lebar, hanya selebar kendaraan roda 4. Jika berpapasan salah satunya harus berhenti dan mencari area agak lapang. Aroma khas hutan dan semak belukar mewarnai perjalanan panjang kami. "Ini masih bibirnya" kata tour leader saat menanyakan kapan sampai lokasi. 

Di tengah perjalanan ada inseden kecil yang menimpa bus kami. Mobil putih Fortuner dengan plat nomor Jakarta datang dari arah berlawanan, Sopir bus sudah memberi jalan untuk Fortuner itu, bus pun merambat perlahan. Bunyi "Prak" rupanya gesekan tak terhindarkan.  Sopir bus dan penanggung jawab rombongan turun melihat apa yang terjadi. Akibat gesekan tak sengaja masing-masing kendaraan lecet. Sopir Fortuner awalnya menyalahkan sopir bus dan meminta pertanggung jawaban. Setelah  negosiasi masing-masing berdamai. Perjalanan pun dilanjutkan.

Tak berselang lama dari inseden akhirnya rombongan sampai di posko pertama. Di posko ini ketua rombongan melapor dan membayar biaya masuk. Saya sendiri tidak tahu berapa tiket masuknya, pembayaran sudah dihandle panitia. Tak sampai 5 menit urusan di posko selesai. Tapi sopir bus tak juga melanjutkan perjalanan. Rupanya kendaraan yang tadi serempetan mengekor perjalanan kami.  Kali ini terjadi lagi perdebatan panjang, katanya ada pihak lain yang mengompori agar tetap meminta pertanggung jawaban. Lagi -lagi berkat kelihaian beberapa rekan pengawas, dan memang tak ada unsur kesengajaan perdebatan kali ini pun berakhir dengan damai. 

Bersamaan  menunggu sopir dan beberapa rekan melakukan perundingan. Tepat di depan posko terlihat ada 2 mobil berhenti untuk membeli tiket. Terlihat 2 penumpang yang turun laki perempuan dengan pakaian serba putih khas pakaian umat Hindu. Dari pakaian yang dikenakan dapat ditebak mereka akan melakukan pemujaan. Tapi di mana? Apa di tengah alas purwo? Rasa penasaran itu mengusik benak kami. Tanpa disadari kedua mobil itu melesat dan lenyap dari pandangan kami.
Dok.Pribadi 

Perjalanan dari Posko kanan kiri jalan  diwarnai dengan pepohonan, yang sedikit beda adalah adanya rumpun bambu   yang menyelingi pohon-pohon besar disertai suara  binatang (serangga) liar. Di tengah menikmati panorama alam, jawaban akan rasa penasaran ditemukan. Dua mobil putih yang dijumpai di posko tadi sedang parkir di area bernama Pure Kawitan. Sebuah pure atau tempat pemujaan umat Hindu yang sudah terlihat sangat tua usianya, seperti tak terawat, berada di area hutan yang tak jauh dari tepi jalan.

Rombongan kami tidak berhenti di sini, sebab destinasi wisatawa TN Alas Purwo  secara berurutan  : Pantai Trianggulasi, Savana Sadengan, Pantai Pancur , Pantai Plengkung dan 2 destinasi wisata di luar TN Alas Purwo.

Bersambung..

Husnul Hafifah, 6 .06.2022

1 komentar

Posting Komentar

[ADS] Bottom Ads

Halaman

Copyright © 2021