Menyibak Misteri Alas Purwo


Setelah berpuluh-puluh kilometer  menyusur Alas Purwo akhirnya sampai juga pada destinasi wisata pertama, yakni pantai Trianggulasi. Nama ini mengingatkan saya pada salah satu metode penelitian kualitatif, he he "triangulasi". Saya sendiri tidak paham apakah penamaan itu masih ada kaitan dengan metode pengukuran dengan menggunakan sifat-sifat segitiga  trigonometri. Ah entahlah. 

Penasaran dengan nama pantai itu saya mencoba melacak di Google, namun sayang saat memasuki Alas Purwo hingga masuk pantai itu, segala jenis signal tidak ada. Signal baru ada saat kami keluar dari Alas Purwo.

Nama Trianggulasi setelah saya lacak ternyata diambil dari monumen Trianggulasi, yang merupakan tugu penunjuk titik pengikat di area pengukuran dan pemetaan, yang terletak sekitar 500 m dari pantai utara. Konon masyarakat setempat sering menamai Tanggul Asri, karena sulit untuk menyebut Trianggulasi.

Memasuki Pantai triangulasi kami disambut gerimis. Awalnya kami abaikan rerintik kecil itu. Kaki ini terus melangkah menuju garis pantai. Pada area pintu masuk area pantai, terpasang papan peringatan keras, yang intinya pengunjung dilarang berenang." Nekat berenang siap mati" waw bikin bulu kuduk bergidik. Sebegitu angkernya kah? Kutelisik kalimat panjang di papan. Infomasi yang didapatkan sering terjadi korban tenggelam akibat terseret arus pecah di palungan.

Sejauh mata memandangi air laut, hati berdecak kagum. Biru, jenih dan air bersih! Kesan pertama menatap laut lepas itu. Mentari mencoba menembus awan tebal yang menutup penuh pemandangan langit, sungguh ciptakan suatu panorama alam yang sangat eksotik. Sebagaimana kelaziman pantai, hutan mangrove juga mengitari garis pantai. 
Sayang pasir pantainya yang berwarna krem keputihan dipenuhi puing-puing atau lebih tepatnya belulang pohon yang melapuk yang ditinggalkan hempasan ombak. Entah karena dampak covid , seakan area pantai kurang terawat. 

Belum puas diri menikmatinya, rerintik hujan membesar. Kami berlarian menuju bus. Tak sampai 15 menit memang kaki memijak sekitaran pantai yang merupakan ujung pulau Jawa ini.  Dari dalam bus kami melihat jika di dekat bus parker ada 3 gazebo besar untuk berteduh. Tapi apa boleh buat, kami harus melanjutkan perjalanan.

Savana Sadengan, destinasi kedua
yang kami datangi. Jarak dari Trianggulasi cukup dekat, namun saat memasuki jalan masuk Savana Sadengan kendaran tidak bisa melaju dengan cepat. Selain jalannya yang tidak diaspal atau makadam dan sempit, kendaraan tidak bisa berpapasan. Menurut info yang didapatkan jalan menuju savana memang sengaja tidak diaspal, mengingat sebagai bagian dari hutan konservasi yang dilindungi  BKSA (Balai konservasi Pelestarian Alam). Jangan heran pula jika disepanjang jalan menemukan pohon besar sampai melapuk dan dibiarkan begitu saja. 

Salah satu keberuntungan kami saat menuju Savana kami bisa melihat burung merak yang sedang melintas. Sayang tidak sempat mendokumetasikan si merak cepat -cepat menyelinap di semak belukar.
Savana Sadengan merupakan savana buatan dengan luas +-84 ha yang berada di ujung timur pulau Jawa. Bertujuan untuk monitoring dan konservasi sekaligus feeding ground bagi satwa perioritas yang hidup di padang rumput seperti banteng ( Bos Javanicus), kijang (Montiacus Muntjak) Rusa ( Cervus Monterensis) babi kutil ( Sus Verricusus) dan pelestarian berbagai burung seperti jalak putih (Sturnus melanopterus ) dan merak hijau (Pavo Muticus)

Di Savana Sadengan kami juga disuguhi pemandangan banteng yang sedang merumput dalam jarak yang cukup dekat. Pengunjung juga bisa menikmati pemandangan alam sekitar melalui panggung berlangai 2. Di lantai  pengunjung bisa berswafoto, secara bergantian. Maksimal di lantai 2 hanya 15 orang.

Selain di panggung pengunjung bisa melakukan swafoto pada tempat yang tersedia. Tentu saja pengambilan spot foto harus tepat agar menghasilkan penampakan alam yang benar-benar memukau. Sebagai destinasi wisata sadenagan juga memiliki fasilitas yang cukup nyaman seperti sarana toilet yang bersih dan modern, musholla yang bersih, kantor juga kantin dan area parkir yang memadai. Puas menikmati keasrian dan pemandangan di Savana Sadengan bus membawa rombongan menuju Pantai Pancur.

Perjalanan menuju Pantai Pancur kurang lebih 3,5 KM. Jalanan menuju Pantai Pancur sudah hotmik. Namun kanan kirinya tetaplah merupakan hutan. Kadang di dominasi rumpun bambu kadang pepohonan lainnya. Sepanjang jalan kami di melihat kera berkeliaran di jalan, bergelantungan, melompat dari ranting ke ranting dari pohon ke pohon. 
Asyiknya menikmati perjalanan menyusuri hutan, rasanya begitu cepat sampai di area Parkir wisata Pancur. Dari tempat parkir menuju pantai harus berjalan kaki menuju Pos Pancur yang jaraknya sekitar 100m. Dari sini pengunjung bisa langsung ke pantai pancur atau lanjut ke Pantai Plengkung.
Kami dan beberapa kawan lebih memilih lanjut ke Pantai Plengkung. Menuju Plengkung harus menggunakan kendaran khusus/ armada wisata TN Alas Purwo jenis Trooper. Jasa antar jemput 1 mobil isi 7 orang biayanya Rp 250. 

Dari sopir armada kami diberitahu jika objek wisata belum sepekan dibuka setelah masa pandemi. Selama pandemi segala tempat wisata ditutup. Bahkan orang-orang yang ada di gua -gua/ pertapa di pulangkan. Di Alas Purwo ada ratusan gua, orang -orang yang berkunjung ke gua juga bermacam macam, tergantung niatnya, ada yang cari pesugihan, kedudukan, dan jabatan. Begitu cerita ngalor ngidul si sopir. Dia sebagai pendatang  baru, ikut istri menetap di wilayah Tegaldlimo katanya juga sedang cari "pesugihan" bertapa jadi sopir wisata TN Alas Purwo, kelakarnya. Lalu menurunkan kami di kawasan pantai Plengkung dan menunjukan arah menuju pantai paling ujung timur pulau jawa, yang jaraknya sekitar 600m dari kami berdiri.
Decak kagumku bertambah tambah melihat kemolekan Pantai Plengkung ( G_land). Seperti namanya Plengkung. Posisi garis pantainya melengkung. Pantai yang terkenal di manca negara sebagai tempat surfing karena ketingian gelombang ombaknya konon no.2 di dunia. Ombak di pantai Plengkung panjangnya bisa sejauh 2 km dengan ketinggian 6-9m. Plengkung (G-Land) merupakan surga bagi peselancar dunia.

Selain ombak dan kemolekan pantainya, ada yang unik dari pasir di pantai ini. Kawan saya yang jeli menemukan area pasir yang tidak terlalu luas mungkin hanya sekitar 1 atau 2 m,  bentuk pasir yang  ditemukan berbeda dengan pasir pantai umumnya. Pasir halus berbetuk bulat halus tapi padat mirip telur ulat pakan burung. Sebotol kecil tempat air minum jadi bukti uniknya pasir G-Land ikut dalam perjalanan pulang.
Usai dari G land, kami kembali ke Pos Pancur. Di sini kami langsung menuju toilet sekaligus melaksanakan Salat Duhur dan Asar jamak takdim di mushalla lantai 2. Waktu sudah mendekati pukul 14. Wajar saja signal lapar menyala. Kantin  yang hanya beberapa meter dari depan musalla jadi tujuan kami berlima berikutnya. Beda kepala beda selera. Ada bermacam menu makanan dari soto, mie, bakso, nasi tempong, rawon , pecel, ikan bakar dll. Siang itu pilihan saya jatuh pada soto ayam. Hem lapar sebabkan semangkok soto ludes tak tersisa. Alhamdulillah nikmatnya terasa.

Usai makan saya tak sanggup lagi menuruni tangga untuk menikmati pantai pancur. Saya lebih memilih hanya diam di atas mengitip pemandangan laut, yang terasa mulai menyengat. Keunikan dari pantai Pancur adalah adanya air tawar yang mengalir dari pancuran seperti air terjun mini mengalir ke laut. Inilah mengapa pantainya di sebut pantai Pancur.
Pengalaman seharian menyusuri Alas Purwo, menghapus image angker dan mistik alas purwo. Alas Purwo itu merupakan kekayaan alam Indonesia yang penuh pesona. Di dalamnya banyak sekali destinasi wisata yang patut dieskplor namun patut dijaga kelestariannya. Tips mengunjungi Alas Purwo itu sesuai niatnya, jika niat baik maka pulang dalam keadaan baik. Ibaratkan bertamu maka kita harus jaga sopan santun. Jangan melanggar larangan yang ada. Seperti pepatah di mana kaki berpijak maka di situ langit dijunjung. 

Bondowoso, 13.07.2022






 

 

Menyibak Misteri TN Alas Purwo


Dok.Pribadi 

Waktu kian mendekat, sesuai kesepakatan yang ditetapkan satu persatu peserta tur berdatangan. MAN Bondowoso dipilih sebagai titik kumpul pemberangkatan. Sederhana pertimbangannya, halaman nan luas dan aman, bisa dimanfaatkan sebagai penitipan kendaraan, begitu pendapat mayoritas rekan.

Pukul 03.00 tepat Jetz bus mini warna kuning yang akan membawa kami menuju wisata datang. Tanpa aba-aba  kami langsung naik menuju kursi sesuai denah tempat duduk. Tak perlu menungu lama 29 person terdiri 21 wasmad dan 8 anggota keluarga, dengan iringan doa yang dipimpin ketua pokja_bus mini pun bergerak melesat menembus dingin dan gelap sisa  penghujung malam.
 
Alas Purwo menjadi tujuan wisata kami. Wisata yang sudah direncanakan 2 tahun silam itu, baru kesampaian. Penundaan tersebab Covid-19 yang tak kunjung mereda. Alhamdulillah akhirnya giat ini bisa terlaksana. Tak mudah memang untuk mengakomodir berbagai keinginan dari banyak kepala. Pro kontara tentang destinasi wisata pastilah ada.

"Alas purwo? Ngapain di sana? Bukankah lokasi itu angker?" Begitu rata-rata pertanyaan yang mengemuka. Di image saya pribadi juga tentang Alas Purwo  tak jauh beda dengan rekan lainnya. Maklum saja dari kecil informasi itu yang terlanjur menancap. Gegara doyan sandiwara radio yang kala itu merupakan satu-satunya hiburan jadul seperti Saur Sepuh, Brama Kumbara, Mak lampir dll. Alas Purwo tersetting sebagai sebagai tempat berkumpulnya makhluk astral, seperti genduwo, demit, jin, tuyul kutilanak dll. Di samping itu konon  juga sebagai tempat mencari pesugihan, tempat pertapaan untuk mendapatkan kedikjayaan, serta klenik lain yang penuh misteri.

Kelihaian seorang teman yang kebetulan putra daerah Banyuwangi dalam mempromosikan destinasi wisata yang ada, akhirnya pilihan jatuh pada Alas Purwo dan sekitar. Bismillah niat ingsunnya  tadabbur alam dan refreshing. Rute perjalanan melalui alur selatan. Dari arah Bondowoso menuju Arjasa masuk jalan Banyuwangi.

Saya yang memiliki kebiasaan jika perjalanan jauh langsung merem, kali ini harus membetahkan diri untuk tak segera tidur, menunggu salat subuh yang dijadwal sekitar 1,5 jam lagi di Sempolan. Masuk daerah Garahan kami disambut kabut serta rerintik hujan di sepanjang jalan sepertinya hujan dari semalam. 

Pemandangan pasar yang kami lewati menjadikan mata ini hijau, sehijau warna sayuran seperti terong, labu siam, kacang panjang, selada air, sawi, kangkung yang terlihat begitu segar dan ranum. Geliat pasar di pagi buta itu mengundang lapar mata para emak yang ada di bus. Andai yang di lihat itu sudah endingnya perjalanan bisa dipastikan kami meminta pak sopir berhenti. Sayang ini masih awal perjalanan.

Semayup azan subuh sampai juga ke telinga kami. Pak Sopir segera mencari masjid terdekat. Masih di Sempolan saat bus berhenti tepat di halaman masjid. Belum sempat membaca nama masjidnya, iqomah berkumandang, kami bergegas menuju kamar mandi. Antrean kamar mandi tak dapat dihindari, kami para emak memburunya terlebih dahulu, baru kemudian berwudu. Sebagian kami jadi makmum masbub. Usai salat kami sudah ditunggu rekan lain untuk melanjutkan perjalanan, hingga lupa tak mencari tahu nama masjid yang kami singgahi untuk salat subuh itu.

Sejuk dan segarnya air wudu masih berasa, mata masih siaga mengamati nuasa pagi perjalanan. Mentari masih belum menampakkan diri, saat bus memasuki kawasan Gumitir. Halimun menuruni pepohonan di kanan kiri jalan. Jalanan yang berkelok kelok  seperti liukan ular memacu adrenalin kami. Ada rasa ngeri -ngeri sedap menikmati jalanan menanjak dan menikung di pagi buta ini. Lantunan dedoa keselamatan tak henti hentinya dilangitkan.

Untung saja jalanan masih lumayan sepi, di depan  bus hanya ada 2 atau 3 kendaraan besar beriringan. Sopir yang membawa kami rupanya penyabar, dan tak ada gelagat ugal-ugalan. Dia membawa kami dengan ekstra hati hati. Entah di tanjakan dan kelokan ke berapa dari bawah kulihat bahu kanan menuju BWI, longsor, dan belum ada  pengamanan kecuali police line yang terlihat samar. Mujur persis di posisi itu tidak ada mobil dari lawanan arah. 

Rongga dada terasa lapang saat bus sudah keluar dari jalur Gumitir. Pemandangan jalan yang semula dipenuhi pepohonan rindang kini beralih pada rumah rumah penduduk dan pertokoan. Saya tidak paham jalur atau nama jalan menuju BWI, yang saya ingat betul hanya lampu merah persimpangan menuju Jajag mengarah kanan jalan. Bus terus melaju dan kami patuh saja. Tetiba tour leader  memberi aba-aba untuk berhenti persis di halaman mini market. 

Di sebarang jalan tampak tulisan  "Warung Nostalgia". Rupanya inilah warung yang direkomendasikan untuk sarapan pagi. Waktu masih menujuk 06.20. Kami mengantre untuk mengambil sarapan. Di warung Nostalgia ini menu makan dipilih sendiri oleh pembeli.  Menu yang disediakan diantaranya ayam kampung lalapan, ayam pedas, pecel, rawon, soto, dan masih banyak lagi deretan daftar menunya. Sementara untuk minum ada teh hangat manis, tawar , jeruk panas , kopi hitam air mineral. Di warung ini juga memberikan layanan makan sepuasnya, citra rasa masakan juga tidak mengecewakan.

Kurang lebih 40 menit, acara sarapan pun usai. Kami pun melanjutkan tujuan. Entah karena sudah kenyang, kebiasaan saat naik kendaraan kambuh. Serangan ngantuk tak bisa dilawan. Segala kisah perjalanan tiba-tiba lenyap dari pandangan. Tau-  tau terdengar perintah ayo tour leardernya pindah ke depan.  Begitu kubuka mata di depan kulihat kanan kiri jalan sudah berdiri kokoh pepohonan tinggi dan besar.

 Bus membawa kami menyusuri hutan. Kuamati pepohonan yang ada kuhubungkan dengan memori, siapa tahu bisa banyak mengenali jenisnya.  Sepanjang jalan entah berapa kilo panjangnya kami disuguhi pemandangan alam berupa hutan yang didominasi kayu jati dan mohoni yang  besar mungkin sudah ratusan tahun usianya. Disela selanya rapat tumbuhan kecil atau perdu yang tak kutahu apa namanya.
Dok.Pribadi salah satu jenis pohon 

Sunyi dan sepi, kesan pertama saat masuk Alas Purwo. Tepatnya Taman Nasional (TN Alas Purwo) tak ada lalu lalang orang di jalan. Jalan menuju  alas yang tak seberapa lebar, hanya selebar kendaraan roda 4. Jika berpapasan salah satunya harus berhenti dan mencari area agak lapang. Aroma khas hutan dan semak belukar mewarnai perjalanan panjang kami. "Ini masih bibirnya" kata tour leader saat menanyakan kapan sampai lokasi. 

Di tengah perjalanan ada inseden kecil yang menimpa bus kami. Mobil putih Fortuner dengan plat nomor Jakarta datang dari arah berlawanan, Sopir bus sudah memberi jalan untuk Fortuner itu, bus pun merambat perlahan. Bunyi "Prak" rupanya gesekan tak terhindarkan.  Sopir bus dan penanggung jawab rombongan turun melihat apa yang terjadi. Akibat gesekan tak sengaja masing-masing kendaraan lecet. Sopir Fortuner awalnya menyalahkan sopir bus dan meminta pertanggung jawaban. Setelah  negosiasi masing-masing berdamai. Perjalanan pun dilanjutkan.

Tak berselang lama dari inseden akhirnya rombongan sampai di posko pertama. Di posko ini ketua rombongan melapor dan membayar biaya masuk. Saya sendiri tidak tahu berapa tiket masuknya, pembayaran sudah dihandle panitia. Tak sampai 5 menit urusan di posko selesai. Tapi sopir bus tak juga melanjutkan perjalanan. Rupanya kendaraan yang tadi serempetan mengekor perjalanan kami.  Kali ini terjadi lagi perdebatan panjang, katanya ada pihak lain yang mengompori agar tetap meminta pertanggung jawaban. Lagi -lagi berkat kelihaian beberapa rekan pengawas, dan memang tak ada unsur kesengajaan perdebatan kali ini pun berakhir dengan damai. 

Bersamaan  menunggu sopir dan beberapa rekan melakukan perundingan. Tepat di depan posko terlihat ada 2 mobil berhenti untuk membeli tiket. Terlihat 2 penumpang yang turun laki perempuan dengan pakaian serba putih khas pakaian umat Hindu. Dari pakaian yang dikenakan dapat ditebak mereka akan melakukan pemujaan. Tapi di mana? Apa di tengah alas purwo? Rasa penasaran itu mengusik benak kami. Tanpa disadari kedua mobil itu melesat dan lenyap dari pandangan kami.
Dok.Pribadi 

Perjalanan dari Posko kanan kiri jalan  diwarnai dengan pepohonan, yang sedikit beda adalah adanya rumpun bambu   yang menyelingi pohon-pohon besar disertai suara  binatang (serangga) liar. Di tengah menikmati panorama alam, jawaban akan rasa penasaran ditemukan. Dua mobil putih yang dijumpai di posko tadi sedang parkir di area bernama Pure Kawitan. Sebuah pure atau tempat pemujaan umat Hindu yang sudah terlihat sangat tua usianya, seperti tak terawat, berada di area hutan yang tak jauh dari tepi jalan.

Rombongan kami tidak berhenti di sini, sebab destinasi wisatawa TN Alas Purwo  secara berurutan  : Pantai Trianggulasi, Savana Sadengan, Pantai Pancur , Pantai Plengkung dan 2 destinasi wisata di luar TN Alas Purwo.

Bersambung..

Husnul Hafifah, 6 .06.2022