Senyum Yang Hilang

Author
Published September 21, 2020
Senyum Yang Hilang

Nice. Aku baik- baik saja! Itu jawabanku, pada tanyamu.

" Apa kabar?" lagi apa?" Sehatkah?". 

Maaf aku  baru bisa menjawab. Ada hal yang sebabkanku slow respon,  atau serasa enggan tuk sekedar berbasa- basi menyapamu lewat wag. Mau tahu kenapa? Di samping rutinitas kerja  WFH dan WFO . Salah satu sebab  adalah sakitnya nenek yang sudah hampir 2 bulan, bagaimanapun juga turut menggundahkan dan menyibukkan pikiranku.

 Oh iya, libur kemarin  aku sengaja, menjenguk nenek siang hari, ingin merasakan  kebersamaan dengan nenek yang lagi sakit.  Lantaran kepeleset di pintu dan duduk terjengkang , tulang  gelang panggul ( pelvic girdle) sebelah kanan nenek harus dioperasi. 

Perawatan pascaoperasi kata dokter yang menangani butuh waktu 3 bulan.
 Benar- benar ujian terberat bagi nenek yang sudah renta mendapat sakit seperti ini. Berbaring, miring kanan, miring kiri, kata nenek sakit sekali.

Pascaoperasi  belum genap sebulan, Nenek menjalani perawatan di rumah. Sakit perut yang teramat dahsyat dan tak kuasa menahan kesakitan, nenek dirujuk kembali ke rumah sakit. Diagnosa dokter inveksi saluran kencing . Nenek pun opname lagi 5 hari.

 Kasihan sekali! Meleset dari prasangkaan manusia.  Baik nenek atau siapa pun menduga jika melalui tindakan operasi ( patah tulang, retak ) segera teratasi. Nyatanya prediksi itu salah besar. Nenek tetap saja dengan rintihan, dan erangan seperti awal. Sakitnya bertambah- tambah. Faktor usia bisa jadi banyak mempengaruhi, yah, nenek sudah 88 tahun usiannya, organ- organ tubuhnya sudah banyak yang aus.

"Ayo sini semua foto, buat kenang- kenangan, tahun depan belum karuan bisa ketemu lagi seperti ini!", perintah nenek pada semua yang hadir, usai acara salat Id fitrih 1442 H di teras depan rumahnya . 

Salat Id kala pandemi, saat salat Id harus dilakukan di rumah- rumah. Aku bersama suami serta kedua anakku lebih memilih salat di rumah nenek, bersama kerabat dekat yang kala itu sekitar 30 orang. Nenek terlihat sumringah dengan senyum mengembang  dalam jepretan kamera android. Kami bergantian dan mengantre untuk mengabadikan foto bersama nenek. 

Dari generasi 1 ( ibuku) bersama saudara- saudaranya yang hadir. Terus masing- masing keluarga generasi 1 ( anak, cucu dan menantu). Para cucu dan menantu putra, para cucu dan menantu putri. Mengenang itu bahagianya. Sungguh merupakan kebersamaan yang penuh kesan. Walau kondisi lebaran saat itu bisa dikatakan sepi. Covid memang membatasi kebersamaan  momen Idul Fitrih di rumah nenek. Namun senyuman nenek mengembang ceria sekali.

"Ya Allah ampuni saya, saya mohon ampun ya rabb!" teriakan nenek lantang mengaduh kesakitan, bubarkan lamunanku. Aku terpaku tidak tahu mau berbuat apa. Dalam kesakitannya antara sadar dan tidak sadar, nenek menumpahkan segala emosinya. Mulai menyesalkan kenapa kok ujian sakitnya diberikan saat usia renta, mengapa tidak kala muda. Protes tentang kesalahan apa sehingga Allah menghukumnya dengan ujian sakit yang menurutnya dahsyat luar biasa.

Semalaman hingga siang nenek belum tidur. Yang nemani nenek bergantian tidur dirundingkan sendiri antarsaudara. Ibuku yang paling betah tidak tidur menjaga nenek. Kata nenek, mereka enak tidur gantian, sementara nenek tidak ada yang menggantikan,  terjaga terus sampai siang hari. Ngantuk berat tapi sakit yang dirasakan tubuhnya tidak bisa menidurkan dirinya barang sesaat juga.

"Saya ini sakit manja, mau apa- apa tidak bisa. Kalo anak-anak sakit minta digendong. Saya tidak mInta gendong, anak-anak membenci saya. Saya terlalu banyak permintan, belum selasai satunya sudah merintah lainnya". Begitu curhatan nenek saat rada tenang sedikit. 

Aku tidak membalas sepatah kata pun kecuali menyimak apa yang diungkap nenek. Aku membiarkan nenek puas dengan keluh kesahnya. Mengambilkan air minum jika memintanya. menyelimutinya jika mengatakan dingin , membuka selimutnya jika bilang panas, memperbaiki posisi bantalnya saat dirasa tidak nyaman. Aku tahu apa yang dilontarkan nenek di luar kesadarannya. Aku tahu putra putri nenek 11 orang semua berebut menunjukkan bakti untuknya

Nenek yang sabar ya? Aku mencoba mengisi sesaat kesenyapannya. "Bagaimana aku bisa sabar dengan yang seperti ini?" 

"Istigfar saja Nek! " 

Nenek pun membaca berbagai doa yang dihafalnya. Doa tolak balak, doa dijauhkan dari petaka, bencana dan ganguan makhluk lainya. Alhamdulillahnya juga kala memasuki waktu  salat  nenek ingat dan masih mendirikan salat. Katanya untuk dihaturkan -Nya jika saatnya tiba, Walau hanya dengan berbaring dan bersuci dengan tayamum saja.

Membersamai nenek siang itu membuatku sadar. Sakit itu adalah ujian kesabaran. menguji yang sakit dan yang merawatnya. Apa bisa bersabar dan ikhlas menerimanya? Sakitnya orang tua merupakan ladang  pahala  bagi para anak untuk menunjukkan bakti pada orang tua.

Ketika anak kecil sakit orang tua merasa tak tega melihat penderitaannya. Lantas orang tua berdoa:

" Ya Allah cukupkan penderitaan anak hamba, kasihani dia, gantikan sakitnya pada hamba." 

Orang tua rela menangung sakitnya anak dipindah saja pada dirinya. Sebaliknya ketika anak sudah dewasa, adakah yang rela berkorban dan meminta sakitnya orangtua dipindah pada diri seorang anak?

Siang itu , satu jam bersama nenek, aku benar- benar merasakan kehilangan senyumnya. Nenek benar- benar tak berdaya. 

Nyanyian " Pajjer laggu" yang biasa nenek nyanyikan ketika membuka jendela di pagi buta, untuk membangunkan kami ( saya, paman, bibi) di masa keci, sudah hampir setengah abad beralu dan siang  itu kembali mengiang di telingaku.

Ya rabb, hamba memohon kepada- Mu takdirkan yang terbaik untuk nenek, Semoga Engkau karuniakan pada nenek akhir yang husnul khatimah. Aamiin.

# Rumah, 21092020
Penulis : Husnul Hafifah, S.Pd.
Catatan:
Pajjer Laggu :  waktu pagi , lagu tempo dulu berbahasa Madura.






3 komentar

Posting Komentar

[ADS] Bottom Ads

Halaman

Copyright © 2021