Rumah

Author
Published Agustus 04, 2020
Rumah

Akhir-akhir ini sore hari sering mendung. Langit berwarna putih keabu-abuan . Seperti biasanya ketika sore bada salat Ashar saya duduk di ruang tamu. Dari ruang tamu yang bagian depannya terbuat dari kaca, mengahadap ke barat, saya bisa  memandang lepas langit sore menunggu tenggelamnya matahari. Menunggu tenggelamnya matahari jika tidak diberi lupa, saya membaca dzikir petang. 

Indah nian pemandangan langit di sore hari jika tidak tertutup awan. Langit berwarna kuning keemasan, matahari perlahan turun dan lenyap di balik pucuk  gunung sejauh mata memandang. Hari pun menuju  petang , perlahan berganti malam.

 Sore ini saya tidak melihat pemandangan  langit berwarna kuning keemasan  di senja hari. Yang nampak jelas di hadapan hanyalah atap rumah yang tersembul di balik pagar tembok setinggi kurang lebih 4 m. Jauhnya kira hanya 25 m dari tempat saya duduk. Memandang atap rumah itu tetiba perasaan sedih hadir di pikiran saya. Atap rumah itu sejak 1998 melindungi penghuninya dari terik panas serta terpaan hujan. Kami berenam (bapak, ibu, dan  _empat putrinya). 

Saya tertua dan kedua adik saya menikah saat Bapak masih ada. Satu persatu pula kami meninggalkan rumah itu, membangun rumah tangga bersama suami. Tahun 2004 Bapak berpulang. Waktu itu adik bungsu belum menikah dan ia baru berstatus CPNS di Banjarmasin. Sebelum meninggal Bapak berwasiat agar nanti rumah itu ditempati oleh ibu dan selanjutnya diberikan pada adik bungsu. Kami pun menjalankan wasiat Bapak.

Perjalanan hidup manusia tidak ada yang tahu, Semua berjalan dengan apa yang sudah digariskan. Adik bungsu akhirnya 2006 menikah berjodoh dengan orang Bandung, mutasi ke Bandung  dan menetap di Bandung. Praktis ibu seorang diri menempati rumah itu. lalu adik no.3 (kakak bungsu yang masih serumah dengan mertuanya)-memboyong keluarga kecilnya ke rumah peninggalan Bapak. Singkat cerita rumah itu atas kerelaan adik bungsu dan kakaknya  serta ijin dari ibu,  wasiat yang diberikan Bapak dibarter. Rumah jadi milik adik no.3, adik bungsu mendapatkan  petak tanah pemberian Bapak untuk adik no.3.

Rumah peninggalan Bapak itu, sudah beberapa hari ini sepi tanpa penghuni. Adik bersama keluarganya sejak awal ramadhan tirah ke rumah mertuanya. Suaminya mengalami demensia dan strok. Sungguh ujian hidup yang dijalankan sangat berat. Saya hanya bisa mendoakan semoga Allah memberikan kesabaran yang tanpa batas pada adik beserta keluarganya. Penyakit suaminya segera diangkat dan  cepat kembali ke rumahnya. 

Sementara Ibu, sudah seminggu lebih meninggalkan rumah, begitu mendengar kabar nenek sakit. Ibu langsung ke rumah Nenek, di Maesan, 3 KM dari rumah. Nenek  usianya sudah uzur ( 87 tahun). Yang bisa dilakukan  putra putri Nenek adalah menemani , mengurus keperluannya,  menjaga dan merawat sebagaimana nenek merawat putra putrinya kala kecil, serta mendoakan  akhir hidup nenek bahagia. Bila  waktu pulang tiba agar dalam keadaan husnul khatimah.

Di senja  dalam sepi ini saya sadar, kita hidup hanyalah menunggu, mengantri. Agar tidak bosan mengantri Allah memberi kita bermacam mainan, kesenangan serta cobaan. Seperti harta, tahta, jabatan, wanita serta keturunan. Terlalu asyik dengan permainan dan kesenangan sering kali melenakan, lupa pada tujuan mengantri. 

Hidup sebentar rasanya. kemarin masih anak-anak, remaja, menikah kemudian punya anak lalu menikahkan anak-anak tidak terasa lalu menjadi tua  akhirnya ajal menjemputnya.  Mudah mudahan ketika malaikat Izroil menjemput dan membawa pulang ke rumahNya , kita diperlakukan dengan baik dan kita dimasukkan golongan husnul khotimah. Aamiin.


Bondowoso, 3 Agustus 2020
Penulis Husnul Hafifah

2 komentar

  1. Keren tulisannya,..mantap, salam kenal dari saya Pak Etik Kabupaten Pemalang

    http://etiknurintobantarbolangpemalang.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trima kasih pak Etik,...salam kenal balik...follow blog :diary nulfah.blogspot.com

      Hapus

Posting Komentar

[ADS] Bottom Ads

Halaman

Copyright © 2021